Rabu, 13 September 2017

Tak Ada Beban Tanpa Pundak



Takkan Salah Pundak

Terlalu kerdil dan ciut memang kala amanah itu menghampiri. Terlalu ringkih rasanya jiwa ini harus mengemban amanah itu. Ya, itulah rasa yang terus berkecambuk dalam benakku ketika membuka lembaran memoar itu. Tak pantas rasanya hamba yang fakir ilmu ini harus menjadi delegasi. Berulang kali kucoba menawarkan amanah itu kepada yang lainnya, kepada yang lebih baik, lebih berhak, dan tentu lebih kuat untuk mengembannya. Situasi kala itu memang sungguh tak memungkinkan, sehingga harus berfikir dua, tiga, bahkan berkali-kali untuk mengambil keputusan itu.
Apa daya, sudah kuutarakan bahwa aku hanya seorang yang fakir ilmu. Tetapi, rupanya kepercayaan itu masih bertahan pada diri ini dan mungkin itu sudah ketetapanNya bahwasanya inilah impian yang aku inginkan dan mungkin hanya angan belaka kala raga ini masih berada di tingkatan ganjil pada tahun ketiga itu. Angan itu entah mengapa jadi kenyataan meski sesungguhnya jiwa memang tak siap menyambut kenyataan dari angan itu.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاث إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu tiga apabila ia berucap berdusta, jika membuat janji berdusta, dan jika dipercayai mengkhianati” (HR Al-Bukhari)

       Kala aku mengingat hadis diatas saat itu, akupun terenyuh dan lagi-lagi bimbang. Aku tak ingin menyiayiakan kepercayaan ini dan sungguh tak terfikir dalam benak untuk menghianati kepercayaan itu.

Hingga akhirnya…
Harus kubulatkan tekad, mantapkan niat, ikhtiar hebat yang dihujani doa syahdu, tawakal, dan qona’ah.

Teori tanpa aksi itu hanyalah sebuah delusi
Eksekusi tanpa kekuatan doa hanyalah sebuah penuntasan belaka tanpa asa
(Penulis)

Memohon do’a kepada Allah takkan kulewati dalam setiap tarikan nafasku kala itu, memohon do’a kepada dosen pembimbing, kepada teteh tingkat, hingga kawan seperjuangan yang membela-belakan waktunya tersisih hanya untuk duduk di kursi penonton menatapku dari kejauhan diiringi hembusan do’a padaNya.

Tak banyak asa yang harus kulukiskan selain aku merasa Bersyukur dan Bahagia

Terlepas apakah beban ini salah dipikulakan pada pundakku atau tidak, tetapi aku bersyukur karena mampu mengalahkan kekerdilan nyali ini untuk menunaikan amanah itu dan akupun bersyukur karena bisa berikhtiar dengan sepenuh hati walau belum maksimal pun dalam waktu yang sangat minimal.


Tawakal, tawakal, dan tawakal itulah yang dapat kulakukan setelahnya. Tiga bulan berlalu begitu saja. Juara 1 hingga 3 telah diumumkan beberapa minggu setelah tanggal pelaksanaan itu. Qona’ah itulah yang berusaha aku tanamkan dalam lubuk hati. Muhasabah, muhasabah dan muhasabah.
Rupanya dibulan keempat baru kudapati kenyataan bahwasanya akan ada 5 perwakilan dari setiap fakultas untuk didelegasikan ke Seleksi Mahasiswa Berprestasi tingkat Universitas. Tak kusangka, pesan singkat mengunjungiku dan menyatakan bahwa diri ini menjadi salah satu yang direkomendasikan untuk mengikuti Mawapres Tingkat Univesitas itu. Tak kudapati kesenangan kala itu, bahwa mungkin saja sms itu salah kirim ataupun yang lainnya. Kala Adzan dzuhur berkumandang, kudapati telepon dari seseorang yang tak asing lagi di telingaku, ya Beliau adalah dosen pembimbingku selama Mawapres ini. Beliau menyatakan bahwa rupanya diri yang fakir ilmu ini masuk dalam 5 besar Mawapres FKIP,  tepatnya berada pada peringkat ke-4. Beliaupun memohon padaku untuk kembali berjuang di tingkatan selanjutnya. Seketika jantung berdebar dan mulut tak henti menyebut namanya. “Ya Rabb, inikah amanah lagi darimu? Sanggupkah hamba memikul beban ini, ujian dalam kebahagiaan rasanya” itulah kata yang berkecambuk dalam hati.


 Tak kusangka, foto yang diambil berempat diatas ialah deretan Juara 1-3 dan aku yang keempatnya. Iya, kebetulan sekali rasanya. KetetapanNya memang tak bisa ditebak. Tetapi kuyakin, ketetapanNya takkan salah dan tentu terbaik bagi seorang hamba, meski dalam ketetapan itu harus menghadirkan derai air mata ataubahkan bahagia yang cepat sirna.

Wahai pundak, kuatlah!
Wahai hati, kuatlah!
Wahai jiwa raga, bangkitlah!
Wahai mulut, perbanyak dzikirlah!
Hadapilah!
“Pemilihan Mahasiswa Berpestasi Tingkat Universitas 2017”

Aksara Menguatara
Amanah di pundak Si Fakir Ilmu

Serang, September 2017
Salam Srikandi Tangguh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar