Pendidikan Agama dan Kecerdasan Spiritual
Abstrak
Islam sebagai agama, sesungguhnya mengajarkan
kepada umatnya untuk membentuk masyarakat yang berperadaban tinggi. Antara
agama dan peradaban memiliki korelasi positif, semakin tinggi sikap
keberagamaan seseorang, maka semakin tinggi pula kontribusinya dalam mewujudkan
masyarakat yang berperadaban, demikian pula sebaliknya.
Pembahasan dalam jurnal ini ialah menolak
pemikiran Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya "SQ: Spiritual
Intelligence – The Ultimate Intelligence" yang menyatakan bahwa kecerdasan
spiritual (SQ) tidak memiliki hubungan dengan agama. Dengan demikian, sumber
bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku SQ: Spiritual
Intelligence – The Ultimate Intelligence karya pasangan psikolog Danah Zohar
dan Ian Marshall yang diterbitkan oleh Bloomsbury, Great Britain tahun 2000,
yang dibaca dengan menggunakan pola pikir teologis-tasawuf yang dibuat oleh
Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya "Islamic Spirituality Foundations"
dan telah diterjemahkan oleh Rahmani Astuti ke dalam bahasa Indonesia dan
diterbiutkan oleh Mizan Bandung Tahun 2002 lalu dikombinasikan dengan pola
pikir teologis John Renard dalam bukunya "Seven doors to Islam:
spirituality and the religious life of Muslims" diterbitkan oleh
University of California Press dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
M. Khoirul Anam dengan judul "Dimens-dimensi Islam" terbitan Jakarta:
Inisiasi Press Tahun 2004.
Pendahuluan
Kehadiran teori kecerdasan spiritual
(Spiritual Quotient) yang dipopulerkan oleh pasangan psikolog, Danah Zohar dan
Ian Marshall pada tahun 2000 turut merubah orientasi pendidikan modern yang
selama ini lebih cenderung kepada kecerdasan intelektual (Intellectual
Quotient). Kecerdasan spiritual dianggap penggagasnya sebagai jenis
"Q" ketiga (third intelligence) dan kecerdasan tertinggi (the
ultimate intelligence) yang paling menentukan kesuksesan seseorang sekaligus
sebagai landasan yang diperlukan untuk memungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Namun teori kecerdasan spiritual yang
dikemukakan oleh Zohar dan Marshall tidak sepenuhnya relevan dengan konsep
pendidikan agama, terutama yang berkenaan dengan konsep hubungan SQ dan agama.
Menurut pasangan psikolog ini, SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Bahkan
ia menegaskan bahwa banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi;
sebaliknya banyak orang yang aktif beragama memiliki SQ sangat rendah.
Pemahaman semacam ini bisa berdampak negatif terhadap pengembangan pendidikan.
Sebab, ketika SQ dianggap sebagai kecerdasan yang tertinggi maka pelaksanaan
pendidikan bisa lebih berorientasi kepada kecerdasan spiritual dan mengabaikan
aspek religius, bahkan ajaran agama dapat dianggap sebagai ajaran yang parsial.
Jika kondisi ini terjadi, maka agama tidak lagi menjadi pegangan hidup dan akan
mudah ditinggalkan, termasuk dalam pelaksanaan pendidikan.
Padahal, agama memiliki ajaran yang
universal, komprehensif dan holistik sehingga aspek spiritual yang sesungguhnya
menjadi bagian penting di dalamnya. Pendidikan agama sebagai upaya mendidik
peserta didik memiliki sikap keberagamaan yang sempurna pada hakikatnya juga
berorientasi kepada multikecerdasan seseorang, termasuk kecerdasan spiritual.
Konklusi sementara ini akan diuraikan lebih lanjut dalam jurnal ini secara
analisis dan rasional sehingga menjawab hakikat pendidikan agama dan
hubungannya dengan kecerdasan spiritual (SQ) seseorang.
Adapun metode yang digunakan dalam kajian ini
adalah dengan cara menganalisis konsep kecerdasan spiritual yang dipopulerkan
oleh Ian Marshal dan Danah Zohar, khususnya yang berkenaan dengan hubungan
agama dan kecerdasan spiritual. Kemudian, akan dianalisis pula kajian tentang
spiritual dalam Islam. Setelah itu akan dilakukan formulasi model pendidikan
agama yang mampu mencerdaskan spiritual seseorang yang pada gilirannya akan
mencerdaskan suatu bangsa.
Pemikiran Danah Zohar dan Ian Marshall
tentang agama dan kecerdasan spiritual dalam bukunya "SQ: Spiritual
Intelligence – The Ultimate Intelligence" akan dianalisi dengan
menggunakan pola pikir teologis-tasawuf yang dibuat oleh Sayyed Hossein Nasr
dalam bukunya "Islamic Spirituality Foundations" dan telah
diterjemahkan oleh Rahmani Astuti ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan
oleh Mizan Bandung Tahun 2002. Selain itu, kajian ini juga didasarkan pula
kepada pola pikir teologis John Renard dalam bukunya "Seven doors to Islam:
spirituality and the religious life of Muslims" diterbitkan oleh
University of California Press dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
M. Khoirul Anam dengan judul "Dimens-dimensi Islam" terbitan Jakarta:
Inisiasi Press Tahun 2004.
Antara IQ, EQ dan SQ
Di awal abad ke-20, IQ menjadi isu besar.
Kecerdasan intelektual atau rasional merupakan kecerdasan yang digunakan untuk
memecahkan masalah logika maupun strategis. Para psikolog pendukung konsep itu
menyusun berbagai tes untuk mengukurnya, dan tes-tes ini menjadi alat memilah
manusia ke dalam berbagai tingkatan kecerdasan, yang kemudian lebih dikenal
dengan istilah IQ (Intelligence Quotient) yang dianggap mampu menunjukkan
kemampuan mereka. Bahkan menurut teori ini, semakin tinggi IQ seseorang,
semakin tinggi pula kecerdasannya. Melalui tes IQ (intelligence quotient),
tingkat kecerdasan intelektual seseorang dapat dibandingkan dengan orang lain.
Kecerdasan inteligensi dapat diperoleh melalui pembagian usia mental (mental
age) dengan usia kronologis (cronological age) lalu diperkalikan dengan angka
100.
Studi tentang IQ ini yang pertama kali
dipelopori oleh Sir Francis Galton pengarang Heredity Genius (1869) dan
kemudian disempurnakan oleh Alfred Binet dan Simon, pada umumnya mengukur
kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan praktis, daya ingat (memory), daya
nalar (reasoning), perbendaharaan kata dan pemecahan masalah (vocabulary and
problem sol¬ving). IQ telah menjadi mitos sebagai satu-satunya alat ukur atau
parameter kecerdasan manusia, sampai akhirnya Daniel Goleman mempopulerkan apa
yang disebut dengan EQ (Emotional Intelligence) pada tahun 1995 dengan
menunjukkan bukti empiris dari penelitiannya bahwa orang-orang yang IQ tinggi
tidak menjamin untuk sukses. Sebaliknya, orang yang memiliki EQ, banyak yang
menempati posisi kunci di dunia eksekutif. EQ memberi rasa empati, cinta,
motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan dan kegembiraan secara
tepat.
Penelitian para psikolog semakin berkembang
sehingga ditemukan jenis "Q" ketiga, yaitu kecerdasan spiritual
(Spiritual Quotient). Kecerdasan ketiga ini dipopulerkan oleh Danah Zohar dan
Ian Marshall dalam bukunya "SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate
Intelligence". Pasangan psikolog ini mendefinisikan SQ sebagai kecerdasan
untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan
untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas
dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang
lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Bahkan mereka menegaskan bahwa SQ
sebagai kecerdasan tertinggi manusia sekaligus sebagai landasan untuk
memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual,
menurut mereka adalah orang yang memiliki kemampuan bersikap fleksibel, tingkat
kesadaran diri yang tinggi, mampu menghadapi dan memanfaatkan penderitaan dan
rasa sakit, kualitas hidupnya diilhami oleh visi dan nilai-nilai, berpandangan
holistic, dan hidup secara mandiri. Dalam konteks pendidikan, orang yang
memiliki kecerdasan spiritual akan menjadi pribadi yang mandiri, merasakan
hidupnya penuh dengan nilai serta memiliki kriteria-kriteria di atas sehingga
pembentukan karakter yang diinginkan dalam proses pendidikan dapat terwujud.
Penemuan Q Terakhir (Spiritual Quotient
atau Kecerdasan Spiritual)
Pada akhir abad ke dua puluh, serangkaian
data ilmiah terbaru menunjukkan adanya jenis “Q” baru, yang tidak hanya membuat
manusia memperoleh kesuksesan, tetapi juga memperoleh kebahagiaan. Jenis “Q”
baru ini disebut dengan spiritual quotient atau kecerdasan spiritual.
Konsep SQ yang diperkenalkan oleh Zohar dan
Marshal, sekaligus mencoba mengembangkan ke arah wawasan yang lebih luas. Dalam
tulisan ini saya tetap akan menggunakan SQ (Spiritual Quotient), meskipun
sebenarnya hal ini salah kaprah. Kata Quotient artinya adalah angka dari hasil
pembagian. Kata ini digunakan dalam perhitungan angka IQ, yang merupakan hasil
bagi dari umur mental dengan umur kalender. Maka sebenarnya istilah IQ, EQ
maupun SQ harus digunakan ketika orang mengadakan perhitungan angka. Kalau tidak,
istilah kecerdasan mental, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual adalah
yang paling tepat. Tetapi karena IQ, EQ dan SQ lebih populer dan lebih keren,
maka jurnal ini juga menggunakan istilah SQ (Subandi, 2007), Kecerdasan
Spiritual tidak bisa dihitung karena pertanyaan yang diberikan semata-mata
merupakan latihan perenungan (Zohar dan Marshall, 2007).
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan potensial setiap
manusia yang menjadikan seseorang dapat menyadari dan menentukan makna, nilai,
moral, serta cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dan sesama makhluk hidup
karena merasa sebagai bagian dari keseluruhan, sehingga membuat manusia dapat
menempatkan diri dan hidup lebih positif dengan penuh kebijaksanaan, kedamaian,
dan kebahagiaan yang hakiki (Utama, 2010).
Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin agama
yang mengajak manusia untuk ‘cerdas’ dalam memilih atau memeluk salah satu
agama yang dianggap benar. Kecerdasan spiritual lebih merupakan sebuah konsep
yang berhubungan dengan bagaimana seorang ‘cerdas’ dalam mengelola dan
mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai dan kualitas-kualitas kehidupan
spiritualnya.
Kecerdasan spiritual lebih merupakan konsep
yang berhubungan dengan bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan
mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas kehidupan
spiritualnya. Kehidupan-kehidupan spiritual ini meliputi hasrat untuk hidup
bermakna (The Will To Meaning), yang memotivasi
kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (The Meaning Of
Life), dan mendambakan hidup bermakna (The Meaningfull Life) (Abdul
mujib, 2002)
Kecerdasan spiritual mendorong kita untuk
selalu mencari inovasi untuk menghasilkan sesuatu yang lebih dari pada apa yang
dicapai saat ini, keceradasan spiritual akan mendorong kita untuk berfikir dan
memandang hidup dari berbagai sisi. Bukan hanya berfikir dari satu sisi saja.
Tingkat ketaatan ibadah seseorang dalam
praktek kehidupannya tidak bisa menjadi ukuran bahwa dia memiliki SQ yang
tinggi. Namun, dengan memiliki kecerdasan spiritual, seseorang akan menjadi
seorang pemeluk agama yang baik. Secara garis besar menurut Danah dan Ian bahwa
manusia harus meningkatkan “Kecerdasan Spiritual” untuk mengatasi krisis
spiritual yang melanda dunia.
Kecerdasan Spiritual dalam Islam
Istilah spiritual, sebagaimana yang digunakan
dalam bahasa Inggris, sesungguhnya mempunyai konotasi Kristen yang sangat kuat.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, istilah yang digunakan untuk
"spiritualitas" adalah rūhāniyyah (bahasa Arab), ma'nawiyyah (bahasa
Persia), atau berbagai turunannya. Istilah pertama diambil dari kata ruh, yang
bermakna ruh dimana Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk mengatakan, ketika
ditanya tentang hakikat ruh: "Sesungguhnya ruh adalah urusan Tuhanku (Qs.
Al-Isra'/17: 85). Sedangkan istilah yang kedua berasal dari kata ma'na yang
secara harfiah berarti makna, yang mengandung konotasi kebatinan, yang hakiki,
sebagai lawan dari yang kasatmata, dan juga "ruh", sebagaimana
istilah ini dipahami secara tradisional, yaitu berkaitan dengan tataran
realitas yang lebih tinggi daripada yang bersifat material dan kejiwaan dan
berkaitan pula secara langsung dengan realitas Ilahi itu sendiri.
Pemahaman seperti ini menunjukkan bahwa
spiritual dalam pandangan Islam merupakan aspek yang bersifat batin, hakiki,
dan erat kaitannya dengan keilahiahan. Pemahaman ini juga memiliki relevansi
dengan SQ yang dikemukakan oleh Danah Zohar dan Marshall yang mengakui hasil
penelitian neuropsikolog Michael Persinger di awal tahun 1990-an lalu
dilanjutkan pula tahun 1997 oleh neurology V.S. Ramachandran bersama timnya di
Universitas California mengenai adanya "titik tuhan" (God Spot) dalam
otak manusia. Hasil penelitian ini justru memperkuat teori SQ yang dikemukakan
oleh Zohar dan Marshall, meskipun pada akhirnya keduanya menolak jika
kecerdasan spiritual ini disamakan dengan agama yang sesungguhnya
memperkenalkan Tuhan.
Adapun mengenai kecerdasan spiritual dalam
perspektif Islam berarti kecerdasan yang berhubungan dengan keilahiahan,
bersifat ruhaniyyah, diliputi oleh hikmah dan menjadi kajian psikologi Islam.
Kecerdasan spiritual merupakan potensi yang dimiliki setiap orang untuk mampu
beradaptasi, berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan ruhaniahnya yang
bersifat gaib atau transcendental, serta dapat mengenal dan merasakan hikmah
dari ketaatan beribadah secara vertikal di hadapan Tuhannya secara langsung.
Kecerdasan spiritual dalam Islam juga erat kaitannya tradisi tasawuf yang
menjadi kajian penting dalam Islam. Sufi atau orang yang bertasawuf sesungguhnya
orang yang cinta kepada Allah, berupaya mengasah kemampuan spiritualnya agar
dekat dengan-Nya.
Kaitan antara kecerdasan intelektual,
emosional, dan spiritual pada hakikatnya juga mendapat perhatian dalam Al-Qur'an,
seperti firman-Nya dalam surat Al-Baqarah/2: 151. Dalam ayat ini dijelaskan
bahwa di antara tugas setiap Rasulullah adalah untuk yatlu 'alaikum ayatina,
yuzakkikum, dan yu'allimukum al-kitab wa al-hikmah. Tugas yatlu 'alaikum
ayatina/mengajarkan kamu ayat-ayat Kami, sesunggunya mengandung isyarat
kecerdasan intelektual (IQ), sementara yuzakikum atau mensucikan kamu
mengandung makna kecerdasan emosional (EQ), sedangkan yu'allimukum al-kitab wa
al-hikmah berarti kecerdasan spiritual (SQ). Al-kitab dan al-hikmah sarat akan
nilai-nilai keilahiahan sehingga tugas terakhir dalam ayat di atas patut
disebut kecerdasan spiritual.
Selain dari ayat di atas, juga terdapat
ayat-ayat lain yang mengisyaratkan tentang kecerdasan spiritual. Hamdani Bakran
Adz-Dzakiey juga mengemukakan beberapa indikator kecerdasan spiritual yang
didukung oleh ayat-ayat al-Qur'an, di antaranya: dekat, mengenal, cinta dan
berjumpa Tuhannya ( Qs. 2: 186, 223, Qs. 11: 29, dan Qs. 5:54); selalu
merasakan kehadiran dan pengawasan Tuhannya di mana dan kapan saja (Qs. 2:
284); tersingkapnya alam ghaib (transcendental) atau ilmu mukasyafah (Qs. 7:96,
Qs. 15:14-15, Qs. 78: 19 dan Qs. 50: 22); shiddiq (Qs. 9: 119, Qs. 4: 69 dan
Qs. 59:8); Tabligh/menyampaikan (Qs. 3: 104, Qs. 2: 44 dan Qs. 61: 2-3); tulus
ikhlas (Qs. 4: 146); selalu bersyukur kepada Allah SWT (Qs. 14:7); dan malu
melakukan perbuatan dosa dan tercela (Qs. 96:14, Qs. 2:284). Begitu banyaknya
ayat-ayat berkenaan dengan spiritualitas ini, John Renard menyebut bahwa
al-Qur'an merupakan pusat (rujukan) bagi diskursus dan pengembangan
spiritualitas Islam.
Jika dikaitkan dengan struktur kepribadian
manusia, maka kecerdasan spiritual bertumpu pada qalb. Meminjam istilah Taufik
Pasiak, qalb merupakan "otak spiritual". Qalb inilah yang sebenarnya
merupakan pusat kendali semua gerak anggota tubuh manusia. Ia adalah raja bagi
semua anggota tubuh yang lain. Semua aktivitas manusia berada di bawah
kendalinya. Bahkan Rasulullah SAW menegaskan bahwa jika qalb ini sudah baik,
maka gerak dan aktifitas anggota tubuh yang lain akan baik pula; demikian
sebaliknya. Sementara kecerdasan intelektual berpusat di aql dan emosional
berpusat pada nafs. Ketiga komponen ini mendapat perhatian dalam Islam agar
dikembangkan dan dioptimalkan sebagaimana mestinya.
Hubungan antara Agama dan Kecerdasan Spiritual
Danah Zohar dan Ian Marshall sebagai tokoh
yang memopulerkan SQ, membedakan antara SQ dengan agama. Menurutnya SQ tidak
mesti berhubungan dengan agama. Bahkan ia menegaskan bahwa banyak orang humanis
dan ateis memiliki SQ sangat tinggi; sebaliknya banyak orang yang aktif
beragama memiliki SQ sangat rendah. Baginya, agama merupakan seperangkat aturan
dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal. Agama dipahaminya sebagai
lembaga yang bersifat formal dan top-down, diwarisi dari para pendeta, nabi,
dan kitab suci yang ditanamkan melalui keluarga atau tradisi. Sementara SQ
sendiri, ia pahami sebagai kemampuan yang bersifat internal, bukan eksternal.
Seperti yang telah disinggung di atas, Zohar
dan Marshall sebenarnya mengakui hasil penelitian psikolog sebelumnya tentang
adanya god spot dalam otak manusia yang terletak di antara hubungan-hubungan
saraf dalam cuping-cuping temporal otak. Namun ia tetap menyangkal kaitan god
spot ini dengan adanya Tuhan. God spot, menurutnya, hanya menunjukkan bahwa otak
telah berkembang untuk menanyakan "pertanyaan-pertanyaan pokok",
untuk memiliki dan menggunakan kepekaan terhadap makna dan nilai yang lebih
luas.
Munculnya pendapat yang membedakan agama dan
spiritual ini tentu dilatarbelakangi oleh pemahaman kedua tokoh ini terhadap
agama formal. Jika dilihat setting sosial kehidupannya yang dibesarkan dan
menetap di Barat, tentu pemikiran ini dipengaruhi oleh budaya Barat setempat.
Barat yang notabenenya penganut agama Kristiani sesungguhnya memiliki sejarah
yang amat panjang. Dalam perkembangan sejarah, agama Kristen—melalui para
pendeta dan tokoh-tokoh agama ini—pernah mengalami lembaran yang kelam,
khususnya ketika berhadapan dengan para ilmuan.
Selama beberapa abad, Barat dikuasai oleh
doktrin gereja yang cenderung menolak kajian ilmu pengetahuan dan budaya
berpikir atau filsafat yang pernah berkembang pada masa sebelumnya di Yunani
sehingga mereka jauh dari peradaban. Bapak-bapak gereja Kristen, setelah agama
Kristen menjadi agama resmi Imperium Romawi pada dasawarsa ketiga abad ke empat
Masehi, bersemangat melakukan kampanye membasmi ilmu dan filsafat. Mereka
menganggap ilmu sebagai sihir. Para ilmuan dianggap kafir, zindik dan keluar
dari agama Masehi. Bahkan antara tahun 1481 hingga 1801, lembaga penyelidikan
yang dibentuk oleh penguasa Paus untuk mencari dan menemukan para ilmuan yang
dianggap murtad, telah berhasil menghukum 340.000 orang, hampir 32.000 di
antaranya dibakar hidup-hidup termasuk sajana besar Bruno. Galileo Galilei
(1564-1642 M), sarjana besar lainnya, dengan terpaksa dihukum seumur hidup
dalam penjara, karena keyakinannya bertentangan dengan kitab Injil dimana
ajaran gereja waktu itu berpegang pada konsep geosentris (matahari mengelilingi
bumi) sementara Galileo menganut konsep heliosentris, yaitu bumi bergerak
mengelilingi matahari.
Sikap dari bapak-bapak gereja yang
menginginkan umatnya bodoh semata-mata demi kepentingan pribadi dan kepentingan
penguasa. Dengan kebodohan umat tersebut, maka tidak akan ada perlawanan atas
kezaliman yang mereka lakukan. Dogmatik gereja tersebut berkembang hingga abad
pertengahan. Hingga saat itu pula, Barat mengalami masa kegelapan yang pada
gilirannya berakhir dengan perlawanan para ilmuan yang mempertahankan pendirian
ilmiahnya dan berkoalisi dengan raja untuk menumbangkan kekuasaan gereja.
Koalisi ini berhasil dan tumbanglah kekuasaan gereja sehingga muncul
renaissance yang pada gilirannya melahirkan sekularisasi dan lahirlah dikotomi
antara ilmu dan gereja (agama).
Dampak dari sejarah kelam tentang agama versus
ilmu pengetahuan yang terjadi di Barat tersebut hingga saat ini masih terlihat.
Meskipun agama kristen mayoritas, akan tetapi epistemologi keilmuan yang
berkembang di Barat tidak dilandasi oleh ajaran agama sehingga ilmu pengetahuan
yang mereka hasilkan bisa mengabaikan—bahkan menolak—peran dan kedudukan suatu
agama.
Berbeda dengan sejarah umat Islam, meskipun
terdapat lembaran sejarah yang kelam—seperti sejarah kekuasaan umat Islam yang
sulit untuk berjamaah, termasuk ketertinggalan umat Islam dewasa ini dalam
perkembangan iptek, dll.—namun dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan justru
berkembang dari motivasi agama. Artinya, puncak ilmu pengetahuan pada abad
pertengahan di dunia Timur sesungguhnya dipicu oleh semangat ajaran agama
sangat respon terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dari wahyu
pertama yang diturunkan justru bermula dengan kata iqra', bacalah! Bukankah
membaca sebagai aktivitas pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan?
Demikian pula pandangan tentang hubungan
agama dan spiritual, Islam tentu memiliki pandangan yang berbeda dari Danah
Zohar dan Ian Marshall di atas. Islam merupakan agama yang memiliki ajaran
universal dan bersifat totalitas; mencakup berbagai aspek kehidupan manusia,
baik sosial-budaya, politik, ekonomi, material/fisikal, dan termasuk aspek
spiritual. Karena totalitas dan universalitas Islam itu pulalah Allah menyeru
agar manusia yang berakal masuk ke dalam Islam secara kaffah (Qs. al-Baqarah/2:
208) atau utuh, tidak setengah-setengah.
Hubungan antara spiritual dengan agama juga
tampak dalam pernyataan Allahbakhsh K. Brohi yang berpendapat bahwa siapa saja
yang memandang Tuhan atau Ruh Suci sebagai norma yang penting dan menentukan
atau prinsip hidupnya bisa disebut "spiritual". Seyyed Hossein Nasr
juga menegaskan bahwa tujuan spiritualitas itu sendiri adalah memperoleh
sifat-sifat Ilahi dengan jalan meraih kebaikan-kebaikan yang dimiliki dalam
kadar sempurna oleh Nabi dan dengan bantuan metode-metode serta anugerah yang
datang darinya dan wahyu dari al-Qur'an.
Dengan demikian, dalam perspektif Islam,
antara agama dan spiritual memiliki korelasi positif: semakin tinggi kualitas
agama seseorang maka semakin cerdas spiritualnya; sebaliknya, semakin tinggi
tingkat kecerdasan spiritual seseorang maka semakin baik pula sikap
keberagamaannya. Dalam istilah John Renard, aspek spiritualitas yang
sesungguhnya mengembangkan dan juga meninggikan sikap keberagamaan.
Kecerdasan Spiritual dalam Prespektif Filsafat
Dalam tradisi intelektual Islam, filsafat
dihubungkan dengan hikmah
ilahiyah. Selanjutnya, kita akan lihat pendapat para filosof
Muslim tentang filsafat yang menunjukkan perkembangan pemaknaan filsafat di
kalangan filosof Muslim. Kita mulai dari Al-Kindi yang berpendapat bahwa,”
filsafat adalah tentang realitas hal-hal yang mungkin bagi manusia, karena
tujuan puncak filosof dalam pengetahuan teoritis adalah untuk memperoleh
kebenaran, dan dalam pengetahuan praktis untuk berperilaku sesuai dengan
kebenaran.” Sedangkan al-farabi melihat bahwa, filsafat adalah induk
semua ilmu, yang mengkaji segala yang ada. Ibn Sina agak berbeda.
Menurutnya, ” al-hikmah (yang dipahaminya sama dengan filsafat) adalah usaha
untuk mencapai kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi (tashawwur)
atas segala hal dan pembenaran (tashdiq) realitas-realitas
teoritis, dan praktis berdasarkan ukuran kemampuan manusia.” Pada akhir
hidupnya, Ibn Sina membedakan antara filosafat peripatetik dengan
filsafat Timur (al-hikmah al-masyriqiyyah).
Filsafat Timur inilah cikal-bakal filsafat isyraq Suhrawardi. Pemikiran
Ismailiiyah dan Hermetiko-Pythagorean melangkah jauh dengan menekankan bahwa,
filsafat berhubungan dengan dua hal: teoritis (berfikir filosofis) dan praktis
(tuntunan ke kehidupan bijak). Suhrawardi mengusung perspektif baru
dengan menggunakan istilah hikmah
al-isyraq daripada falsafah al-isyraq. Henry Corbin
menterjemahkan hikmah
al-isyraq sebagai theosophie. Bagi Suhrawardi
dan filosof muslim sesudahnya, hikmah dipandang bersifat ilyah yang harus
direalisasikan secara utuh, bukan hanya secara mental. Sebelum muncul
Aristotelianisme, filsafat bermakna hikmah, yang mencakup pelepasan diri dari
tubuh dan pendakian ke dunia cahaya, seperti tampak dalam pemikiran Plato.
Jadi, tradisi hikmah menggabungkan dan mensyaratkan kesempurnaan daya rasional
dengan kesucian jiwa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada kaitannya
antara pendidikan agama dengan sebuah kecerdasan spiritualitas itu.
Makna hikmah tersebut terlihat jelas dalam
pemikiran Mulla Shadra yang berpandangan bahwa,” falsafah adalah upaya
penyempurnaan atas jiwa manusia dan, dalam beberapa hal, atas kemampuan
manusia melalui pengetahuan tentang realitas esensial segala sesuatu
segbagaimana adanya, dan melalui pembenaran terhadap eksistensi mereka yang
ditetapkan atas dasar demonstrasi (burhan) dan bukan di turunkan dari
opini atau dugaan.” Menurut Shadra, “(melalui hikmah) manusia mejadi dunia
intelejibel yang mirip dengan dunia objektif dan serupa dengan tatanan
eksistensi juga bahwa, filsafat terkait dengan “penceraian” nafsu, serta
kesucian jiwa dari polusi material (tajarrud atau katarsis). Shadra menyimpulkan, “
falsafah atau filsafat dinilai sebagai ilmu tertinggi yang berasal usul secara
azali dari Tuhan, yang berasal dari “ceruk kenabian” dan hukama, yang
dipandang sebagai sosok manusia pempurna, dan mempunyai kedudukan hanya, di
bawah para nabi dan imam.
Jadi, dalam tradisi Islam, filsafat
berhubungan dengan:
(1) upaya menemukan kebenaran
tentang hakikat segala sesuatu
(2) usaha menggabungkan
pengetahuan mental dengan kesucian dan kesempurnaan wujud.
Kecerdasan Spiritual dalam Prespektif Sekolah
Sistem pendidikan selama ini lebih menekankan pada pentingnya
nilai akademik (Intelligence Quotient atau sering disebut IQ), mulai dari
bangku sekolah dasar hingga bangku kuliah. Semakin tinggi IQ seseorang maka
semakin tinggi pula kecerdasan orang tersebut. Keadaan ini semakin diperparah
dengan tuntutan dari orang tua agar anaknya mempunyai tingkat kecerdasan yang
tinggi dengan mengikutkan anaknya pada berbadai les tambahan, agar anaknya
mendapat rangking di sekolah. kata rangking di sekolah memang lebih mewakili
kepentingan orang tua ketimbang anak. Rangking juga simbol bahwa kecerdasan
intelektual (IQ) masih didewakan sebagai satu-satunya ukuran kecerdasan.
Kemampuan anak didik hanya diukur dari nilai akademis. Jika nilai rapor
mencapai 8-10 ia akan dianggap anak yang pandai, cerdas dan pintar.
Saat ini tidak
cukup hanya dengan berbekal kecerdasan intelektual saja. Intelligence Quotient
memang penting untuk diasah, terutama melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang begitu berkembang pesat. Namun, untuk menghadapi tantangan
kehidupan yang begitu kompeks, dengan hanya berbekal IQ tinggi tidak lah cukup.
Terbentuk anggapan bahwa dengan IQ yang tinggi seseorang akan berhasil untuk
mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Padahal IQ tinggi bukanlah jaminan untuk
memperoleh kesuksesan dan keberhasilan, karena IQ hanya mengukur salah satu
bentuk kemampuan intelektual saja dan masih banyak kemampuan lain yang belum
tersentuh oleh IQ.
Sejalan dengan keterbatasan IQ, muncullah konsep baru yaitu
kecerdasan Emosi yang biasa disebut Emotional Quotient (EQ). Daniel Goleman, Segal dan
Gottman menyatakan bahwa kemampuan IQ yang tinggi kelak tidak menjamin
kesuksesan seseorang. Dari hasil penelitiannya terungkap bahwa perbedaan orang
yang sukses justru terletak pada kecerdasan emosional yang mencakup
pengendalian diri, semangat dan ketekunan serta kemampuan untuk memotivasi
diri.
Untuk menumbuhkan kecerdasan siswa bisa dilakukan dengan
menajamkan kualitas kecerdasan spiritual siswa melalui nilai-nilai yang
ditanamkan sejak dini. Seperti kejujuran, keadilan, kebajikan,
kebersamaan, kesetiakawanan sosial dan lainnya. Sedangkan guru harus berusaha menjadi
teladan bagi siwa, sehingga siswa tidak hanya mendapatkan pendidikan SQ melalui
kegiatan yang diikuti, tapi juga bisa meneladani sosok guru
mereka. Spiritualisasi pendidikan tidak sekedar mengajarkan siswa lebih
empati dan simpati kepada sesama siswa, guru, orang tua dan masyarakat luas.
Tetapi lebih dari itu, menumbuhkan kecerdasan spiritual kepada siswa dalam
pendidikan dan kehidupan (Zohar dan Marshall, 2007).
Ciri-Ciri Kecerdasan Spiritual
Zohar dan Marshall memberikan “Enam Jalan
Menuju Kecerdasan Spiritual yang Lebih Tinggi” dan “Tujuh Langkah Praktis
Mendapatkan SQ Lebih Baik”. Enam Jalan tersebut yaitu jalan tugas, jalan
pengasuhan, jalan pengetahuan, jalan perubahan pribadi, jalan persaudaraan,
jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian. Sedangkan Tujuh Langkah Menuju
Kecerdasan Spiritual Lebih Tinggi adalah :
1. menyadari di mana
saya sekarang,
2. merasakan
dengan kuat bahwa saya ingin berubah,
3. merenungkan
apakah pusat saya sendiri dan apakah motivasi saya yang paling dalam,
4. menemukan
dan mengatasi rintangan,
5. menggali
banyak kemungkinan untuk melangkah maju,
6. menetapkan
hati saya pada sebuah jalan,
7. tetap
menyadari bahwa ada banyak jalan.
Menurut Subandi, 2001 dalam artikelnya
mengemukakan bahwa ciri-ciri diatas menurutnya masih terlihat sangat
psikologis, padahal dimensi spiritual jauh melebihi hal itu, dia menambahkan
beberapa kriteria yang lain yaitu:
1.
Kemampuan menghayati keberadaan Tuhan.
2. Memahami
diri secara utuh dalam dimensi ruang dan waktu
3. Memahami
hakekat di balik realitas
4. Menemukan
hakikat diri
5. Tidak
terkungkung egosentrisme.
6. Memiliki
rasa cinta
7. Memiliki
kepekaan batin
Mencapai
pengalaman spiritual: kesatuan segala wujud, mengalami realitas non-material
(dunia gaib).
Urgensi Pendidikan yang Spiritualis
Ketika agama dan spiritual memiliki hubungan
yang jelas, maka pendidikan—khususnya pendidikan agama—sejatinya berorientasi
terhadap pengembangan kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual tersebut tidak
hanya diperlukan oleh seseorang secara individual, akan tetapi lebih dari itu
juga dibutuhkan oleh masyarakat luas, bahkan dalam konteks suatu bangsa. Ada
beberapa alasan penting yang menunjukkan urgensi pendidikan agama yang bersifat
spiritualis tersebut--khususnya dalam kaitannya dengan masyarakat
luas—setidaknya mencakup tiga bentuk, yaitu pertama, sebagai penggerak dan
kontrol peradaban; kedua, mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dan ketiga;
menjawab tantangan era globalisasi.
Sebagai Penggerak dan Kontrol Peradaban
Tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban suatu
bangsa turut dimotivasi oleh keberadaan agama. Bahkan peradaban yang dicapai
oleh umat Islam di era awal dan abad pertengahan juga dimotivasi oleh agama.
Hal itu dapat dilihat dari doktrin dan perintah pertama yang diterima oleh Nabi
Muhammad SAW; iqra'. Ayat sekaligus perintah pertama (QS.96:1) yang diterima
Nabi itu membawa implikasi yang amat besar terhadap peradaban yang dibangun
dengan basis iman dan ilmu pengetahuan.
Ketika agama diamalkan oleh pemeluknya dengan
sempurna, maka spiritualitas masyarakat pun akan terbangun. Dengan
spiritualitas itu pula seseorang mampu memahami hakikat hidupnya lalu membentuk
suatu peradaban yang dinamis. Inilah yang dimaksud dengan "penggerak"
peradaban. Sementara "kontrol" peradaban merupakan peranan agama yang
mencerdaskan spiritual dibutuhkan untuk menjaga stabilitas suatu peradaban agar
tidak terjerumus kepada bangsa yang berfoya-foya, berorientasi duniawi semata
yang pada gilirannya akan mengundang keterpurukan.
Fakta sejarah juga membuktikan bahwa para
pecinta spiritual (sufi) memainkan peranan penting dalam menggerakkan peradaban
suatu bangsa. Menjelang 1920, misalnya, setiap negeri Muslim—kecuali empat di
antaranya, Persia, Arab Saudi, Afganistan, dan Turki—telah dikuasai dan dijajah
oleh kekuatan asing yang kebanyakan adalah bangsa Kristen Eropa. Dalam sebuah
proses yang telah bermula sejak seabad sebelumnya, rezim-rezim kolonial
memperluas wilayah kekuasaannya atas negara-negara yang mayoritas penduduknya
Muslim. Di sejumlah daerah, tarekat-tarekat Sufi merupakan institusi-institusi
lokal terkuat yang masih tetap bertahan ketika para penguasa setempat
dijatuhkan oleh kekuatan bangsa Eropa. Oleh sebab itulah tarekat-tarekat Sufi
mampu menjadi pusat-pusat perlawanan antikolonial di beberapa tempat, seperti
di Aljazair, Kaukasus, dan Sudan. Kondisi ini juga dapat dilihat di Indonesia
dimana para santri bergerak melawan kolonial Belanda. Kaum santri yang dipimpin
oleh Kiyai ini merupakan kelompok yang kaya akan spiritual sehingga eksistensi
mereka memberikan kontribusia yang amat besar terhadap kemerdekaan Republik
Indonesia.
Dengan demikian, suatu bangsa yang
berperadaban tinggi memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi pula, sementara
spiritual yang tinggi sangat identik dengan agama. Oleh karena itu, pendidikan
agama yang mencerdaskan spiritualitas bangsa amat dibutuhkan.
Mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,
pasal 4, disebutkan bahwa pada tujuan pendidikan adalah untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kata-kata
iman dan takwa jelas mengandung muatan spiritualitas yang amat mendalam.
Kata-kata itu sendiri tentu terinspirasi dari isi Al-Qur'an yang juga sarat
akan nilai-nilai spiritual. Bahkan mendahulukan tujuan iman dan takwa dari yang
lainnya, termasuk ilmu pengetahuan, mengisyaratkan bahwa pendidikan nasional
memberikan penekanan yang lebih terhadap pendidikan yang mencerdaskan spiritual
peserta didiknya.
Dalam perspektif Islam, mewujudkan peserta
didik yang beriman dan bertakwa serta berkakhlak mulia sebagai watak bangsa
mustahil dapat dilakukan tanpa adanya perhatian terhadap dimensi spiritual
peserta didik. Perhatian itu tentu melalui pendidikan agama. Namun
persoalannya, pendidikan agama, termasuk PAI, belum mampu mewujudkan tujuan
yang diinginkan. Ketidakmampuan ini turut disebabkan oleh orientasi pendidikan
agama yang selama ini lebih mementingkan aspek kognisi (kecerdasan
intelektual). Akibatnya, peserta didik tidak mampu menjadi manusia yang tawakal,
tawadhu', serta shaleh secara individual dan sosial, sehingga seringkali muncul
ketidakpercayaan terhadap pendidikan agama dalam membentuk etika dan moral
bangsa.
Oleh karena itu, pendidikan agama yang
berorientasi spiritual amat dibutuhkan dalam konteks keindonesiaan yang pada
dasarnya bercorak religius. Tanpa orientasi seperti itu, maka bangsa ini akan
kehilangan jati dirinya, termasuk corak religiusnya, dan diambil alih oleh pola
hidup materialis, hedonis, dan pragmatis.
Menjawab Tantangan Era Globalisasi
"Globalisasi" merupakan kata yang
digunakan untuk mengacu kepada bersatunya berbagai negara dalam globe menjadi
satu entitas. Proses globalisasi yang semakin menemukan momentumnya sejak dua
dasawarsa menjelang millennium baru telah mempengaruhi berbagai dimensi
kehidupan suatu bangsa: literatur akademik, idiologi ekonomi dan politik,
sosial-budaya, hingga pada dimensi pendidikan. Singkatnya, proses globalisasi
tidak lagi mengenal tanpa batas (borderless) dengan kemajuan sistem teknologi
dan informasi.
Dalam konteks pendidikan, berbagai
kecenderungan perkembangan baru pendidikan yang muncul sebagai konsekuensi
globalisasi pada akhirnya diadopsi oleh sistem pendidikan nasional. Pada adab
21 ini, pendidikan dituntut untuk menyiapkan sumber daya manusia yang adaptif,
siap pakai, mampu menerima dan menyesuaikan perubahan yang kian cepat di
lingkungannya. Padahal arus globalisasi yang begitu deras, di samping dampak
positif yang ditimbulkan, juga membawa dampak negatif terhadap cita-cita
bangsa.
Meskipun era globalisasi mampu membuka
sekat-sekat antara satu negara dengan negara lain, namun disadari atau tidak,
era globalisasi juga memunculkan hegomoni bangsa yang relatif kuat dengan
bangsa yang sedang berkembang, apalagi yang terbelakang. Akibatnya, idiologi,
falsafah, budaya dan cara pandang mereka akan berpengaruh pula terhadap watak
bangsa Indonesia.
Dalam konteks kekinian, Barat memegang peran
yang signifikan dalam percaturan global di berbagai aspek, termasuk pendidikan.
Barat pun dianggap negara maju karena lebih mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan secara dinamis dan varian sehingga negara-negara berkembang dan
yang sedang merangkak maju kerap kali menjadikannya sebagai referensi
(barat-centris) dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini pernah disinggung
oleh Ismail Raji al-Faruqi yang menyatakan bahwa materi dan metodologi yang
kini diajarkan di dunia Islam adalah jiplakan dari materi dan metodologi Barat,
namun tak mengandung wawasan yang selama ini menghidupkannya di negeri Barat.
Padahal, umat Islam tidak mesti meniru secara mutlak metodologi Barat.
Ketika Barat dianggap lebih maju dan
dijadikan sebagai referensi dalam pembangunan dan pengembangan suatu bangsa,
termasuk Indonesia, maka bangsa ini akan rentan terpengaruh oleh idiologi
liberal yang mereka anut serta menjadi korban "imperialisme
kultural". Seperti yang disinggung sebelumnya, bangsa Barat memiliki
sejarah kelam terhadap pihak gereja vs ilmuan selama berabad-abad sehingga
memicu berkembangnya idiologi liberalisme. Bahkan, idiologi ini pada gilirannya
turut berpengaruh terhadap epistemology keilmuan yang mereka kembangkan.
Mujamil Qomar menyatakan bahwa epistemology yang dikembangkan Barat lebih
menekankan pada pendekatan skeptis, rasional-empiris, dikotomik,
positif-objektif, dan pendekatan yang menentang dimensi spiritual. Semua
pendekatan ini menunjukkan bangsa Barat mengabaikan dimensi spiritual, terutama
yang bersifat keilahiahan. Mereka juga mengeluarkan agama secara total dari
epistemology tersebut dengan dalih dapat menghambat objektifitas dan merusak
validitas ilmu pengetahuan.
Umat Islam memang tidak antipati terhadap
perkembangan dan kemajuan bangsa Barat. Bahkan fakta sejarah menunjukkan bahwa
umat Islam juga belajar kepada Barat dengan menerjemahkan karya-karya ilmuan Yunani.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat toleran terhadap pihak asing dan
dibolehkan belajar kepada mereka selagi yang dipelajari itu bermanfaat.
Demikian pula yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada masanya senantiasa
memotivasi umatnya untuk belajar, termasuk kepada non-Muslim. Para tawanan
Badr, misalnya, yang pandai baca tulis itu justru dapat menebus dirinya jika ia
bersedia mengajarkan baca-tulis kepada 10 orang anak-anak Madinah.
Peristiwa ini mengisyaratkan bahwa umat Islam
diperkenankan belajar dari manapun asalnya, termasuk dari Barat. Hanya saja,
bangsa Indonesia harus memiliki karakter yang kuat sehingga tidak mudah luntur
dengan sesuatu yang baru yang datangnya dari luar. Pola hidup materialis,
pragmatis, hedonis, dan liberalis yang bertentangan dengan akaran Islam mesti
diwaspadai oleh bangsa ini.
Untuk menghadapi tantangan tersebut,
pendidikan yang spiritualis perlu ditampilkan dengan cara menerapkan pendidikan
agama yang berorientasi spiritual. Jika pendidikan agama yang berorientasi
spiritualitas ini dapat dilakukan, maka ilmu pengetahuan yang dikembangkan di
Barat tidak akan menimbulkan mudharat, justru sebaliknya, ilmu pengetahuan
seperti itu akan mampu menghasilkan peradaban yang tinggi, bahkan lebih tinggi
dari peradaban yang telah mereka dicapai.
Gagasan pendidikan agama yang spiritualis
sesungguhnya relevan dengan kondisi bangsa Indonesia itu sendiri yang mayoritas
menganut agama Islam dan didukung oleh kebijakan-kebijakan politik pendidikan
yang religius. Untuk itu, agar umat Islam Indonesia yang dikenal sebagai
"The Biggest Moslem Community in The Word" mampu tampil terdepan
dengan kebudayaan dan peradaban yang tinggi, perlu menerapkan strategi
pendidikan agama yang mencerdaskan spiritual bangsa.
Strategi PAI dalam Mengoptimalkan Kecerdasan Spiritual
Untuk mewujudkan pendidikan agama yang mampu
mengoptimalkan kecerdasan spiritual, perlu dilakukan beberapa strategi. Dalam
hal ini, strategi itu akan dilihat dari sudut pendekatan atau metodologi
keilmuan yang digunakan. Ada lima pendekatan yang mendapat penekanan lebih
dalam konteks pendidikan agama yang mengoptimalkan kecerdasan spiritual, yaitu:
1) pendekatan intrinsic, 2) pendekatan teoantroposentris dan humanistic
religius, 3) pendekatan integralistik tematik, 4) pendekatan keteladanan, dan
5) pendekatan amanū wa 'amilushshālihāt.
Pendekatan intrinsik
Pendekatan intrinsik adalah pendekatan yang
berupaya untuk membangkitkan kesadaran beragama dalam dirinya sendiri, bukan
semata-mata dorongan dari luar. Ada dua cara macam beragama: yang ekstrinsik
dan yang intrinsik. Cara ekstrinsik memang agama sebagai sesuatu untuk
dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to live.
Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri.
Agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain; kebutuhan akan status, rasa
aman atau harga diri. Orang yang beragama dengan cara ini, melaksanakan
bentuk-bentuk luar dari agama, ia puasa, shalat, naik haji, dan sebagainya –
tetapi tidak di dalamnya. Cara beragama seperti ini memang erat kaitannya
dengan penyakit mental. Cara beragama semacam ini tidak akan melahirkan
masyarakat yang penuh kasih sayang. Sebaliknya kebencian, irihati, dan fitnah
masih akan tetap berlangsung.
Agaknya, beragama dengan cara ekstrinsik
inilah yang identik dengan pendapat Danah Zohar dan Ian Marshall tentang
orang-orang yang beragama, tetapi rendah kecerdasan spiritualnya. Hanya saja,
keduanya tidak menguraikan lebih lanjut, akan tetapi mengklaim secara langsung
bahwa agama tidak ada hubungannya dengan SQ.
Dengan pendekatan instrinsik, maka sikap
keberagamaan setiap peserta didik diharapkan muncul dari dalam dirinya, bukan
karena dari luar. Kondisi semacam ini pada gilirannya akan membentuk
kepribadiannya sehingga menjadi akhlak dalam hidupnya. Jika kondisi semacam ini
terbentuk, niscaya akan berpengaruh pula terhadap perkembangan masyarakat,
serta bangsa dan negaranya.
Pendekatan teo-antroposentris atau humanistik religious
Corak pemikiran filosofis yang berkembang
pada tiap-tiap zaman memiliki ciri tertentu yang berbeda. Ada yang berpendapat
bahwa filsafat zaman kuno bersifat "kosmosentris" dan filsafat abad
pertengahan bersifat "teosentris" sedangkan zaman modern bersifat
"antroposentris". Namun, jika dilihat dari konsep ajaran Islam, dapat
dipahami bahwa ajarannya mengandung pesan yang bersifat humanis, berorientasi
pada manusia, akan tetapi dilandasi dan dibarengi oleh keimanan kepada Allah
SWT.
Esensi pendekatan humanistik religious adalah
mengajarkan sikap keberagamaan tidak semata-mata merujuk teks kitab suci,
tetapi melalui pengalaman hidup dengan menghadirkan Tuhan dalam mengatasi
persoalan kehidupan individu dan sosial. Tegasnya, pendekatan teoantroposentris
menekankan akan pentingnya aspek spiritual dalam pengembangan pendidikan agama.
Hanya saja, tidak berorientasi kepada aspek yang bersifat transenden belaka,
tetapi konsep pendidikan itu harus "membumi", dapat menyentuh dan
menjawab berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh umat.
Pendekatan integralistik tematik
Sebagaimana yang disinggung sebelumnya,
pendidikan agama yang bermuatan spiritual tidak hanya mengedepankan aspek
spiritual lalu mengabaikan aspek materil. Tetapi, kedua aspek itu mesti
dikombinasikan, saling melengkapi dan saling terpadu. Disinilah diperlukan
pendekatan integralistik-tematik.
Pendekatan integralistik tematik merupakan sebuah
pendekatan penyajian agama, baik secara lisan maupun tertulis dengan cara
mengintegrasikan seluruh bidang ilmu agama ke dalam sebuah tema tertentu.
Ketika mengajarkan tema tentang shalat misalnya, tidak hanya dilihat atau
didekati dari segi formalistik, simbolistik dan ritualistiknya (fikih-nya)
saja, melainkan juga dilihat dari segi dalil-dalil berupa ayat al-Qur’an dan
al-hadis yang pada hakikatnya berkaitan dengan bidang kajian al-Qur’an dan
al-Hadis. Kemudian dilihat pula dari segi hikmahnya yang berkaitan dengan
ajaran tentang filsafatnya. Selanjutnya dilihat pula latar belakang terjadinya
kewajiban shalat yang selanjutnya berkaitan dengan ajaran tentang sejarah.
Kemudian dilihat pula dari segi spirit atau kejiwaannya yang pada hakikatnya
berkaitan dengan ajaran tasawuf.
Dengan demikian, sebuah tema kajian dapat
dilihat dari berbagai bidang ilmu agama. Pendekatan integralistik tematik ini
akan memberikan pemahaman kepada anak didik tentang ayat-ayat Allah baik dalam
bentuk qawliyah maupun kawniyah secara integral. Kedua ayat-ayat ini
sesungguhnya mampu meningkatkan keimanan seorang mukmin. Dengan pendekatan ini,
akan nampak bahwa ternyata berbagai bidang ilmu agama tersebut saling
berhubungan dengan erat. Pendekatan penyajian agama secara integralistik
tematik ini selain akan lebih efisien dan menantang serta penuh dengan daya
analisa, juga sejalan dengan prinsip pendekatan pengajaran yang modern, serta
didukung oleh teori psikologi Gestalt yang melihat bahwa antara satu kemampuan
dengan kemampuan lainnya yang dimiliki manusia saling berhubungan. Dengan
pendekatan yang integralistik tematik ini, maka tidak akan ada lagi
pertentangan (dikotomi) antara satu ilmu agama dengan ilmu agama lainnya
sebagaimana yang pernah terjadi dalam sejarah dan masih cukup kuat pengaruhnya
hingga sekarang.
Pendekatan keteladanan
Metode keteladanan merupakan metode yang
paling berpengaruh dalam mendidik peserta didik, khususnya dalam hal
pembentukan kepribadian. Pentingnya metode ini juga dimiliki oleh Nabi Muhammad
SAW sebagai utusan Allah. Bahkan al-Qur’an menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW
itu menjadi teladan bagi para umatnya (Qs. al-Ahzab/33: 21). Keteladanan itu
terlihat dari setiap perilaku yang ditampilkan oleh Rasulullah, sehingga Allah
pun memujinya dalam al-Qur’an: dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki
akhlak yang agung (Q.s. Qalam/68:4).
Untuk menerapkan pendidikan agama yang
berorientasi kepada kecerdasan spiritual, pendekatan keteladan merupakan
pendekatan yang paling efektif. Bahkan, dalam tradisi tarekat, keteladanan
seorang mursyd atau guru amat dibutuhkan. Dalam hal ini, seorang guru dituntut
untuk memiliki integritas kepribadian yang mulia sehingga menjadi model dan
teladan bagi peserta didiknya.
Pendekatan amanū wa 'amilushshālihāt
Banyak ditemukan dalam Al-Qur'an kata-kata
amanū wa 'amilushshālihāt yang secara tekstual diartikan sebagai beriman dan
beramal shaleh. Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah orang
yang beruntung (Al-Ashr/103:3), mendapat ampunan dan pahala (Al-Fath/48: 29),
dijadikan sebagai penguasa atau khalifah di muka bumi (an-Nur/24: 55),
memperoleh keamanan (Saba'/34: 37), memperoleh karunia-Nya (asy-Syuura/42: 26),
dan sebagainya. Amanū wa 'amilushshālihāt juga dapat diartikan sebagai sikap
yang memliki konsisten, komitmen, dan loyalitas loyaliyas yang kuat serta
berpikir dan bertindak secara kreatif dan produktif. Konsep Amanū wa
'amilushshālihāt ini dapat dijadikan sebagai pendekatan pendidikan agama. Amanū
wa 'amilushshālihāt mengandung sarat nilai-nilai spiritual sekaligus memberi
inspirasi untuk berkarya secara kreatif, inovatif, dan produktif. Modal ini
sangat dibutuhkan dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang berperadaban tinggi.
Kesimpulan
Dengan
pembelajaran yang hanya berpusat pada kecerdasan intelektual tanpa
menyeimbangkan sisi spiritual akan menghasilkan generasi yang mudah putus asa,
depresi, suka tawuran bahkan menggunakan obat-obat terlarang, sehingga banyak
siswa yang kurang menyadari tugasnya sebagai seorang siswa yaitu tugas belajar.
Kurangnya kecerdasan spiritual dalam diri seorang siswa akan mengakibatkan
siswa kurang termotivasi untuk belajar dan sulit untuk berkonsentrasi, sehingga
siswa akan sulit untuk memahami suatu mata pelajaran. Sementara itu, mereka
yang hanya mengejar prestasi berupa nilai atau angka dan mengabaikan nilai
spiritual, akan menghalalkan segala cara untuk mendapakan nilai yang bagus,
mereka cenderung untuk bersikap tidak jujur seperti mencontek pada saat ujian.
Oleh karena itu, kecerdasan spiritual mampu mendorong para siswa mencapai
keberhasilan dalam belajarnya karena kecerdasan spritual merupakan dasar untuk
mendorong berfungsinya secara efektif kecerdasan intelektual (IQ) dan
kecerdasan emosional (EQ).
Hal ini selaras hasil penelitian dalam journal Mark D.
Holder dkk. Hasil penelitiannya adalah Anak-anak yang lebih spiritual ternyata
lebih bahagia. Dari hasil diatas jelas bahwa anak-anak yang mempunyai
spiritualitas akan bahagia karena dia akan mampu memaknai hidup &
peranannya sebagai siswa sehingga ketika dia gagal dia tidak akan cepat putus
asa tetapi mengoreksi dan instropeksi mengapa bisa gagal.
Penulis menolak atau tidak sependapat dengan
pemikiran Danah Zohar dan Ian Marshall tentang hubungan agama dengan kecerdasan
spiritual dalam bukunya "SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate
Intelligence". Dalam buku tersebut Zohar dan Marshalla menyatakan bahwa
tidak ada hubungan antara agama dengan kecerdasan spiritual (SQ). Menurut
penulis, agama justru mendidik pemeluknya untuk memiliki kecerdasan spiritual
dalam arti yang sesungguhnya. Antara agama dan spiritual memiliki korelasi yang
positif: semakin tinggi kualitas keberagamaan seseorang maka semakin tinggi
pula kualitas spiritualnya, demikian sebaliknya.
Hubungan antara agama dan spiritualitas ini juga
dikemukakan oleh Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya Islamic Spirituality
Foundations. Menurutnya, hakikat spiritual justru bersifat ilahiah yang menjadi
puncak tertinggi dalam ajaran Islam. Demikian juga John Renard berpendapat
bahwa spiritualitas mengembangkan dan juga meninggikan kehidupan keberagamaan.
Namun, dikotomi antara agama dan dimensi spiritualitas juga banyak dikemukakan
oleh sarjana Barat, di antaranya J. Harold Ellens, Vernon A. Holtz dan Stephen
R. Honeygosky. Bahkan John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam Megatrend 2000
menyebutkan slogan New Age dengan Spirituality, Yes! Organized Religion, No!.
Perbedaan ini tampaknya dilatarbekalangi oleh pemahaman mereka sendiri yang
tidak utuh terhadap agama sehingga agama hanya dianggap sebagai organisasi
formal yang tidak menjamin terpenuhinya kepuasan spiritual.
Oleh karena
itu, orang perlu menemukan, mengelola dan mengoptimalkan atau mendayagunakan
nilai-nilai kearifan yang dimilikinya untuk mencapai suatu tujuan yang mulia
atautujuan yang membuat dirinya benar-benar bermakna (meaningful life).
Lebih lanjut, dengan kecerdasan spiritual menjadikan manusia yang benar-benar
utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan
jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan
membangun diri manusia secara utuh. Selain itu, kecerdasan spiritual memberikan
kemampuan untuk membedakan, memungkinkan seseorang untuk memberikan batasan
serta mampu memberikan kita rasa moral. Hal ini berkaitan dengan aspek moral,
sehingga terkait dengan kecerdasan spiritual yang dimiliki oleh seseorang.
Seseorang dengan kecerdasan spiritual yang tinggi, diharapkan mempunyai rasa
moral yang baik dan mampu membedakan antara perbuatan buruk dan yang baik serta
bagaimana dia harus bersikap terhadap sesamanya sesuai nilai moral yang
dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, Hanan A., Spirituality and Ethics in
Education; Philosophical, Theological and Radical Perspective, Oxford:
Blackwell Publishing, 2004
Arif, Muhammad, "The Islamization of Knowladge and
Some Methodoogical Issues in Paradigm Building: The General Case of Social
Science with a Special Focus on Economic", dalam Mohammad Muqim (ed.),
Research Methodology in Islamic Perspektive, New Delhi: Institute and Objective
Studies, 1994
Arkoun, Mohammed, Rethinking Islam, Penj. Yudian W. Asmin
dan Lathiful Khuluq, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 1996
ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah;
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, Penj. Syihabuddin, Jakarta
: Gema Insani Press, 1999
As-Siba'i, Musthafa Husni, Min Rawâ'i Hadarâtina, Penj.
Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung: Pustaka Setia, 2002
Aziz, Abdul, "Posisi Pendidikan Agama dalam
Sisdiknas", dalam Ali Muhdi Amnur (ed.), Konfigurasi Politik Pendidikan
Nasional, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007
Aziz, Fayaz, Man Syahkumul 'Alam, alih bahasa Ahmad
Syakur, judul Dicari! Pemimpin Peradaban Dunia; Menakar Visi Universal Paham
dan Agama-agama Besar Dunia, , Solo: Era Intermadia, 2006
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999
Bagir, Haidar, Gagalnya Pendidikan Agama, dalam Kompas,
tanggal 28 Februri 2003.
___________, "Memaknai Tasawuf sebagai Spiritual
Islam", dalam Madjid, Nurchalish, et.al., Kehampaan Spiritual Masyarakat
Modern; Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam Menuju Masyarakat Madani,
Jakarta: Paramadina, 2000
Burhanudin, Jajat dan Dina Afrianty (Peny.), Mencetak
Muslim Modern; Peta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PTRajaGrafindo
Persada, 2006
Dahlan, Abdul Aziz, Agama dan Falsafat, dalam Jurnal
Al-Ta'lim, edisi IX September-Desember 2000, Padang: IAIN IB Press, 2000
Adz-Dzakiey, Hamdani Bakran, Prophetic Intelligence,
Kecerdasan Kenabian; Menumbuhkan Potensi Hakiki Insani Melalui Pengembangan
Kesehatan Ruhani, Yogyakarta: Islamika, 2005
Ellens, J. Harold, Understanding Religious Experiences:
What The Bible Says About Spirituality, Greenwood Publishing Group, 2008
Ernst, Carl W., The Shambhala Guide to Sufism, Shanbahala
Publications., Massachusetts, 1997, diterjemahkan oleh Arif Anwar dengan judul
"Ajaran dan Aliran Tasawuf; sebuah Pengantar", Jogjakarta: Pustaka
Sufi, 2003
al-Faruqi, Ismail Raji, Islamization of Knowladge:
Problem, Principle and Perspectives, Heradon, U.S. IIIT, 1987, alih bahasa Anas
Wahyudin, judul: Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Pustaka, 1984
Faridi, Shah Shahidullah, "The Spiritual Psychology
of Islam", dalam Wahid Bakhsh Rabbani, Islamic Sufism, Kuala Lumpur: A.S.
Noordeen, 1990, third edition
Feisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Goleman, Daniel, Emotional Intelligences, New York:
HarperCollins (Basic Books), 1993, alih bahasa T. Hermaya, judul: Emotional
Intelligence, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999
Hamersma, Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern,
Jakarta: PT Gramedia, 1992
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz II dan XXX, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1988
Hasan, Abdul Wahid, SQ Nabi; Aplikasi Strategi dan Model
Kecerdasan Spiritual (SQ) Rasulullah Masa Kini, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006
__________, Mempertegas Peran PAI di Sekolah, opini,
harian padangekspres,, 2009
__________, Transformasi dan Kontribusi Intelektual Islam
atas Dunia Barat, Makalah PPs. Program Magister IAIN Imam Bonjol Padang, 2006
Langgulung, Hasan, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan
Islam dan Sains Sosial, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Leksono, Karlina -Supelli, Awal Sebuah Pemahaman, http://mkb.kerjabudaya.org
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nusansa Psikologi
Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001
Murad, Yusuf, Mahadi' 'ilm al-Nafs al-'Am, (Mesir: Dar
al-Ma'arif, tt.
Muthahhari, Murtadha dan S.M.H. Thabathaba'i, Light
Within Me, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh tim penerjemah pustaka
hidayah dengan judul: Menapak Jalan Spiritual, Bandung
: Pustaka Hidayah, 1997, cet. ke-2
Nadwi, Abul Hasan Ali, Islam and The Word, Penj. Adang Affandi,
Bandung
: Angkasa, 1987
Nasr, Seyyed Hossein (ed.), Islamic Spirituality
Foundations, Penj. Rahmani Astuti, judul: Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam;
Fondasi, Bandung
: Mizan, 2002
_______,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1993
Zar,
Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004
Zohar, Danah
dan Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence,
Bloomsbury, Great Britain tahun 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar