Jumat, 27 November 2015

Menuntun atau Dituntun?

Menuntun Hati Menghadap-Nya




Sulit dimengerti dan sulit dipahami itulah sebuah perasaan. Sebuah rasa erat kaitannya dengan pusat dimana perasaan itu berada. Ya, pusat itu adalah hati. Semakin bertambahnya usia tentunya semakin matanglah hati itu, semakin lincah dia berjalan, semakin gesit merasakan dan  semakin seringlah dia bergerak. Tapi, terkadang pergerakan hati itu terlalu aktif bahkan dapat dikatakan dia sibuk, yap sibuk merasakan, mengerjakan dan menikmati sejuta bahkan milyaran urusan duniawinya. 

Hari-hari sang hati terisi oleh pelangi kehidupan. Bahagia, sedih, semangat, letih telah dia rasakan selama melewati hari-harinya di dunia ini. Salah satu kegiatan yang disenanginya ialah berorganisasi, melalui organisasi dia bisa menghilangkan rasa penatnya ditengah hiruk-pikuknya tugas-tugas yang diberikan guru atau dosennya. Yap, melalui wadah organisasi tersebut sang hati bisa mencurahkan rasa lelahnya atau rasa penatnya belajar dan belajar. Mencurahkan isi hati ke hati yang lain itulah kesenangannya. Meskipun demikian, tak bisa dipungkiri ternyata si hati terkadang terlena akan itu semua, lupa akan kewajibannya. Kewajiban apa? Yap dia lupa akan kewajibannya menghadap Rabb-nya. Keasyikannya mencurahkan keluh kesahnya kepada hati yang lain atau sibuk mencari hati lain untuk dijadikan tambatan hati ? Entahlah,. Yang pasti mencurahkan keluh kesah kepada hati lain akan sia-sia tanpa mencurahkan kepada siapa yang menciptakannya ( menciptakan hati itu sendiri ).

Meskipun otak dan hati sama-sama bekerja (bersinergi) tapi satu yang perlu kita ketahui pergerakan otak bisa dikendalikan oleh hati tapi hati cukup sulit dikendalikan otak, hanya hati yang bermasalahlah yang mudah dikuasai dan dikendalikan otaknya. 

Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal daging, jika segumpal daginng itu baik, maka baiklah seluruh jasad, jika segumpal daging itu rusak, maka rusaklah seluruh jasad, Ketahuilah, dia itu adalah hati”.

Hati yang terlanjur dikendalikan otak dan nafsunya terkadang memang sulit kembali pada posisinya yaitu posisi dimana hati harus bisa menjadi penyeimbang diantara keduanya. Jangan sampai otak dan nafsu kita membuat hati kita rusak dan bahkan merusakkan jasad kita. Terkadang di situasi seperti ini butuh uluran dari hati yang lain. Butuh dituntun untuk menjadikan semuanya kembali pada semula.  Menuntun ialah tugas hati yang lain untuk bisa membawa atau bahkan menarik hati yang bermasalah tersebut, dialah hati yang terjebak oleh penguasaan otak dan nafsunya. 

Menyentuh hati  dan menuntunnya ? Apakah bisa ? 

BISA ! Itulah kemungkian besar jawabanya. Memang terdengarnya sulit menyelamatkan hati yang dipenjarakan oleh otak dan nafsunya, namun dengan tekad kuat, keikhlasan dan kesabaran bi idznillah hati itu bisa terbebas dari belenggu otak dan nafsu buruknya itu. Disinilah peran hati yang lain dalam membebaskan hati yang terjebak itu. Yap siapapun bisa membebaskannya? Yakin Bisa ? 

“BISA BILA KAMU RELA”

“RELA MENDAKWAHI HATI ITU”

“Memang seperti itu dakwah, Dakwah adalah cinta. Cinta akan meminta semuanya darimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan ditengah lelapmu, isi mimpimupun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai”. – K.H. Rahmat Abdullah[1]

Yap sudah semestinya kita berikhtiar untuk menjadi pemuda islam yang mampu berjihad di jalan Allah dan selalu ikhtiar dalam keistiqomahan tersebut. Menjadi hati yang membebaskan (Menuntun hati itu bebas?) atau Menjadi hati yang terpenjarakan ? Pilih mana ? Tanyakanlah pada hati kita masing-masing.




[1] Zaky Ahmad Rivai, Jangan Berdakwah Nanti Masuk Surga(Jakarta:Gema Insani,2014), hlm.2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar