Inilah
Jalan Dakwah, Pantaskah Engkau?
Langit masih saja
biru, tak perlu mengeluh dengan cerahnya hari dan teriknya mentari, maka
sebaiknya mensyukuri hari yang yang masih berjalan, bersyukur atas kemampuan
menjalani hari. Saat langit mendung pun seharusnya tak perlu mengobral peluh,
peluh tentang mendungnya hari, dengan sombong dan sok tahu menganggap bahwa
setiap mendung akan membawa hujan, hujan pun tak masalah bukan? Sebab sang
hujan adalah rahmat dari Yang Maha Rahman. Ya, dengan syukur maka engkau akan
menjadi mulia, mulia dalam menjalani setiap jejak dan retas perjalanan hidup,
bagaimanapun kondisinya, serumit apapun fenomenanya.
Membaca setiap
fenomena sangatlah penting, menyadari bahwa setiap peristiwa mempunyai maksud
dan hikmah juga tak kalah penting. Apatah lagi setiap momentum yang berdatangan
bagai arus air yang selalu mengalir dan melewati batu kehidupan. Dari setiap
fenomena, peristiwa, dan momentum butuh perenungan yang mendalam. Sebagaimana
definisi peristiwa, fenomena, dan momentum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), peristiwa adalah kejadian atau yang benar-benar terjadi, fenomena
adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan
serta dinilai secara ilmiah, sedangkan momentum adalah saat yang tepat. Ya,
dengan perenungan yang mendalam, tetapi bukan dengan renungan sembarang
renungan. Dari setiap perenungan ini pun harus berdasarkan ilmu, bahkan
alangkah baiknya bila bisa sharing dengan
orang-orang yang berpengalaman. Apatah lagi berbicara mengenai jalan dakwah,
jalan yang penuh dengan kemuliaan dan memiliki pandangan yang sangat jelas.
Jangan sampai ego membuat jalan pikiran menafsirkan sendiri tentang jalan
dakwah, sebab jalan ini adalah jalan yang telah ditempuh para Nabi dan para
Rasul.
Jalan dakwah yang
sesungguhnya adalah jalan yang akan menyatukan kaum Muslimin. Jalan dakwah,
bukan jalan yang akan membuat kaum muslimin terpecah belah, membuat kaum
muslimin tercerai-berai. Namun banyak orang yang belum mengetahui tentang
keberadaan jalan ini, bahkan sebagian kecil dari para aktivis merasa sudah
berada di jalan dakwah. Padahal nyatanya tidak. Sebagian kecil aktivis ini
mengambil posisi yang kata mereka berada di pihak yang independen. Independen
yang mereka maksud juga tak bisa mereka definisikan secara tuntas. Apakah
independen dalam hal politik? Sungguh dangkal mereka yang membatasi dakwah
dengan kata independen dan menganggap tabu bila dakwah sudah masuk ke ranah
politik. Bukankah Islam itu agama yang universal? Bukankah Islam juga mengatur
perpolitikkan, tata Negara, dan pemerintahan? Mereka yang sebagian kecil ini
dengan sikapnya yang juga tak jelas sedang mengebiri nilai-nilai Islam yang
universal dan mengatur segala aspek hidup.
Jalan dakwah
bukanlah seperti itu, karena jalan ini sudah jelas apa yang menjadi tujuan dan
orientasinya. Ada pula sebagian kecil aktivis yang merasa sudah berada di jalan
dakwah ketika sudah berkiprah di sebuah lembaga dakwah. Merasa bahwa tujuan
dari lembaga dakwah itulah tujuan dakwah seutuhnya. Sehingga mereka yang
sebagian kecil ini memberikan loyalitas bukan pada tempat yang seharusnya.
Belum memahami yang mana tsawabit dan
mutaghayyirat. Ketika status
sudah menjadi alumni lembaga dakwah, merasa bingung dan cemas karena tak ada
aktivitas dakwah lagi yang bisa dikerjakan. Ketika sudah menjadi alumni,
bisanya hanya nongkrong melulu di kegiatan-kegiatan lembaga dakwah yang pernah
ia berkiprah di dalamnya. Untuk sesekali saja dengan maksud mengarahkan itu tak
jadi soal. Yang jadi persoalan adalah ketika segmen dakwah berubah dan tahapan
dakwah sudah beralih ke fase berikutnya, sebagian kecil aktivis ini hanya
berada di situ-situ saja. Bahkan keberadaan mereka terkesan membuat segan para
aktivis-aktivis baru yang baru bergabung dalam barisan lembaga dakwah. Sudah
bertahun-tahun ikut tarbiyah tetapi
pemahaman dakwah hanya berkisar di seputaran lembaga dakwah saja. Sudah
bertahun-tahun halaqah belum
juga tersadar untuk segera berhijab secara syar’i. Sudah bertahun-tahun
menjalani aktivitas di lembaga dakwah, mengisi kelompok mentoring, menjadi dewan pertimbangan
organisasi, menjadi badan pertimbangan organisasi, menjadi majelis syura’ organisasi, tetapi belum juga
menyadari grand design dakwah
ini yang sejatinya sedang dalam proses menuju tatanan peradaban. Sudah
bertahun-tahun menjalani tarbiyah tetapi
masih sulit diberdayakan untuk kerja-kerja dakwah yang sudah sampai di medan
amal, di lingkungan masyarakat, di lingkup umat, di tataran politik, ekonomi,
dan sosial. Masih saja memahami dakwah tidak secara komprehensif, bahwa dakwah
ini masih sangat panjang perjalanannya, masih amat sangat besar gelora dan
semangat perbaikan umat, dimulai dari individu, keluarga, masyarakat, lalu negara. Dan untuk
mengantar sampai pada tujuan dakwah yang begitu jelas ini, sejelas mentari
bersinar dan sejelas langit di siang hari, hanya melalui satu jalan, yaitu
jalan dakwah.
Maka, pantaskah
bagi kita semua untuk mengambil jalan lain selain jalan dakwah? Bukankah dalam
setiap Al-Fatihah yang kita
lantunkan kita senantiasa memohon untuk dituntun ke jalan Allah? Jalan yang
orang-orang Allah berikan nikmat? Bukan jalan mereka yang Allah murkai dan
bukan pula jalan mereka yang sesat? Tidak sadarkah engkau bahwa sampai saat ini
jalan yang dimaksud adalah jalan dakwah?
Maka pantaskah
Engkau yang ingin bersama-sama bergerak dan melangkah di jalan dakwah untuk
mengambil ideologi selain Islam? Apakah kerumitan ilmu sains menjadikan engkau
orang yang realistis dan cenderung tidak menyandarkan dirimu pada Allah,
melainkan pada pembuktian-pembuktian ilmu pengetahuan? Tidakkah engkau sadar
bahwa engkau cenderung sedang menuhankan akal dan logika? Maka tunggulah murka
Allah menghampirimu di akhirat kelak, bahkan sedikit dari murka-Nya akan engkau
rasakan di dunia.
Maka pantaskah
engkau yang tersadar dan ingin segera bergabung di jalan dakwah untuk
terperangkap pada slogan-slogan dan jargon-jargon yang bersifat temporer? Atau
kata-kata indah yang mewujud dalam visi-misi yang bersifat parsial, hanya untuk
institusi, hanya untuk lembaga, hanya untuk daerah, hanya untuk bangsa, hanya
untuk Negara? Sungguh dangkal pemahamanmu yang menganggap dakwah hanya bicara
soal tazkiyatun nafs,
sungguh congkak wajah dan dagumu yang menganggap dakwah tidak akan membahas
peradaban masyarakat, peradaban umat, peradaban dunia seluruhnya. Dakwah ini
sangat luas, seluas-luasnya alam semesta, sebagaimana karakteristik Islam yang rahmatan lil’alamiin, bahkan bila bumi
ada tujuh buah, dakwah pun akan menyinari ketujuh bumi tersebut, sebab Allah
akan terus menyempurnakan cahaya-Nya meskipun musuh-musuh Allah tidak
menyukainya.
Maka pantaskah
engkau yang sebentar lagi akan bergabung dan menisbatkan diri di jalan dakwah
untuk untuk malas bergerak dan susah diberdayakan? Pantaskah bagi dirimu untuk
memilah-milih amanah dakwah?
Atau mungkin merasa pekerjaanmu lebih penting dari dakwah. Apakah perkerjaanmu
yang akan mampu menjadi jawaban ketika kelak ada pertanyaan tentang kontribusi
bagi islam, dakwah dan umat ini? Jawabannya Tidak! Sekali-kali tidak!! Dan
nampaknya engkau harus segera mengubah orientasimu, sebab para Sahabat radhiyallahu’anhuma juga berdakwah,
pada saat yang sama mereka juga bekerja. Bahkan hasil dari keringat dan
pekerjaan mereka sebagian besar diberikan untuk perjuangan dakwah ini. Sudahkah
engkau ketahui bahwa sumur yang dibeli oleh Sayyidina ‘Utsman Bin Affan radhiyallahu’anhu dari orang Yahudi,
diperuntukkan untuk Kaum Muslimin, sampai saat ini asset tersebut masih
dikelola oleh Pemerintah Saudi Arabia untuk kesejahteraan Umat? Maka semua
harta dan keringat hasil pekerjaanmu hanyalah debu di atas debu bila hanya
habis untuk keperluan-keperluan pribadimu. Namun harta dan jiwamu akan menjadi
mulia ketika keduanya diinfaqkan di jalan dakwah. Transaksi mana lagi yang
lebih menguntungkan? Betapa tidak Allah membeli harta dan jiwa orang-orang
beriman.
Maka pantaskah
engkau yang sudah berada di jalan dakwah namun belum begitu memahami esensi
dakwah jamaah, memilih untuk tidak taat dan patuh pada murabbi dan naqib? Lalu engkau merasa sedang
berada bersama di jalan dakwah? Merasa sedang berjamaah? Padahal kegiatan
sehari-harimu tak kau sharing kan
kepada teman-teman halaqahmu,
persoalan, masalah, dan kegembiraan tak diketahui oleh sahabat-sahabat
seperjuanganmu dalam dakwah. Yang lebih parah lagi engkau memilih pasangan
hidup tidak sesuai koridor jamaah dakwah, tidak berkoordinasi dengan murabbi atau naqib.
Inilah Jalan
Dakwah, ini baru permulaannya, ini masih kulitnya, untuk memahami intinya maka
dituntut keseriusanmu, totalitasmu, serta loyalitasmu, untuk bergerak bersama
jamaah dakwah, untuk bersama-sama tidak terjebak dalam isu-isu temporer,
kedaerahan, isu-isu parsial yang dapat dipastikan tidak akan mampu
menyelesaikan persoalan peradaban. Maka dituntut pengabdianmu untuk bergerak
bersama jamaah, sesuai koridor jamaah, sebab jalan dakwah adalah dengan
berjamaah. Inilah jalan dakwah, jalan yang begitu mulia, yang dilalui para Nabi
dan Rasul yang Mulia, tugas yang begitu mulia. Tangisi dan tertawakan dirimu
yang masih menganggap dakwah ini sederhana. Inilah Jalan Dakwah, maka pantaskah
engkau?
Sumber: http://www.dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar